Sitemap

Jadi Frontend itu Susah! — Kata Mereka.

7 min readMay 19, 2025
Photo by Lala Azizli on Unsplash

Setiap kali muncul thread debat mana yang lebih sulit antara Frontend dan Backend, rasanya seperti menonton pertarungan klasik yang tak pernah ada habisnya. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana isi dari kolom komentar nya, sudah bisa ditebak kalau mereka saling gontok-gontokan satu sama lain.

Perdebatan ini sering kali berujung pada ajang unjuk gigi, seperti cerita klasik para veteran perang yang dengan sombongnya membanggakan luka bekas tembakan sniper di telinga kiri, yang membuat nya selamat dari Head Shot.
“Dewi fortune masih berpihak padaku!” — Dengan angkuhnya dia berceloteh.

Tapi maaf saja, bukankah bisa jadi itu merupakan sebuah aib? — Aib dari seorang yang sembrono lari ke garis depan tanpa persiapan dan pikir panjang, hingga dibuat hampir menyapa malaikat maut oleh penembak runduk lawan?

Kolaborasi atau kompetisi?

Kalau terus-terusan saling menuding, kapan kita bisa saling belajar dari satu sama lain?

Frontend dan Backend merupakan sebuah harmoni Yin dan Yang dalam setiap Software Development, mana yang lebih sulit? Tentu saja tergantung jenis project yang dikerjakan. Tapi, apakah itu layak untuk diperdebatkan? Hanya untuk melihat siapa paling hebat — Silahkan jawab sendiri.

Sering kali yang dilemparkan sebagai premis adalah hal-hal yang sebetulnya tidak benar-benar umum digunakan di setiap project. — Oke! karena disini saya merupakan seorang Frontend Developer, saya tidak akan banyak berbicara detail mengenai Backend, dan saya persilahkan rekan-rekan Backend untuk menceritakan dunia nya di kolom komentar.

Premis-premis seperti apa yang dimaksud? Coba lihat video ini:

Premis yang dilempar untuk menggambarkan betapa sulitnya Frontend, biasanya tidak jauh dari seputaran, slicing design yang kompleks, penggunaan three.js untuk 3d, penggunaan gsap untuk bermain-main dengan animasi, penggunaan sprite untuk website gamification, web rtc, dan masih banyak hal-hal lainnya.

Oke! sekarang kita coba analisa kecil-kecilan deh. Berapa banyak sih website yang menggunakan semua fitur tadi?

Saya berani jamin, dari semua website yang saat ini sudah mengudara di Internet, tidak akan sampai 10 persennya website yang menggunakan hal-hal tadi, karena kebutuhan nya sendiri pun sangat-sangat spesifik. Jadi, apakah benar Frontend sesusah itu?

Frontend itu Susah! Titik!

Frontend itu memang susah ko, setidaknya “Kata Mereka”. Saat ini saya memegang posisi sebagai Senior Frontend Web Developer di salah satu korporasi yang Head Office nya berlokasi di Jakarta Selatan, saya memiliki pengalaman hampir 8 tahun di dunia Web Development, dan lebih dari 5 tahun sebagai Frontend, setidaknya ketika artikel ini ditulis.

Rasanya itu sudah cukup untuk melegitimasi pandangan saya terkait “Apakah menjadi seorang frontend sesulit itu?”.

Ada sebuah quote dari Albert Einstein, yang saya rasa ini cukup populer.
“Jika kamu menilai seekor ikan dari cara dia memanjat pohon, maka ikan itu akan merasa bodoh seumur hidup.” — Albert Einstein

Atau analogi lain yang saya suka adalah seperti ini:
“Apa hal pertama yang membuat seekor burung mampu untuk terbang?”
“Sayap nya kah?”
“NOPE!!”

Hanya dengan memilki sayap, belum tentu mampu membuat sekor burung untuk terbang. Ayam dan pinguin pun mereka punya sayap ko, tapi mereka sama sekali ga bisa terbang.

Atau coba bayangkan, seandainya ketika seekor burung menetas dari telurnya dia menganggap dirinya adalah seekor ikan, dan dia tidak memiliki siapapun yang bisa di jadikan contoh sebagai seekor burung. Lantas apakah dia akan mencoba untuk terbang? Saya rasa tidak, ketika burung tersebut menganggap dirinya ikan, dia akan melompat ke air dan mencoba untuk berenang.

Apakah salah seekor burung belajar berenang? — Tentu tidak!
Yang menjadi masalah adalah, sehebat apapun burung belajar berenang, dia tidak akan bisa berenang sehebat ikan, dan tentu saja si burung akan lebih kesulitan belajar berenang ketimbang si ikan.

Jadi, ketika kamu berfikir bahwa “Frontend itu susah”, bisa jadi tempat mu memang bukanlah di Frontend. Jangan maksa belajar berenang, kalo kamu memang punya sayap. Mulailah belajar untuk terbang, nikmatilah prosesnya, dan terbanglah setinggi langit, lebih tinggi dari siapapun.

Goldilocks Rule

Okee, mungkin beberapa di antara kalian ada yang berfikir seperti ini:
“Saya seekor burung dan saya punya sayap, tapi kenapa saya masih kesulitan untuk belajar terbang?”.

Untuk kasus ini, mungkin kamu sudah cukup yakin bahwa “Saya dilahirkan untuk menjadi seorang Frontend”, tapi ko materi JavaScript terus-terusan kepental dari kepala, belajar slicing berbulan-bulan hasil nya selalu berantakan, dan setiap kali mau belajar, rasanya seperti habis begadang tiga hari tiga malam, ngantuk berat, susah fokus, dan 1001 alesan lainya untuk berhenti belajar bermunculan.

Apa yang salah?

— Jika kamu sedang ada diposisi itu, coba cari posisi duduk dengan nyaman, tarik napas dan perhatikan dengan seksama tips yang akan saya bagikan.

Photo by Nubelson Fernandes on Unsplash

Atomic Habits adalah sebuah buku yang amat saya rekomendasikan untuk dibaca. Disini saya tidak akan banyak membahas mengenai buku tersebut, namun ada satu hal menarik dari buku tersebut yang rasa-rasanya bisa menjadi solusi atas masalah tadi.

Dari buku tersebut saya belajar mengenai “Goldilock”, tapi bukan “Goldilock an the three bears” tentu saja.

Goldilock disini adalah sebuah rule yang membuat kita bisa tetap berada pada flow state selama kita mencoba untuk mempelajari atau membiasakan hal baru. Untuk detail lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca buku Atomic Habits sercara lengkap.

Saya ilustrasikan dengan permainan bulu tangkis.
Pernah ga kamu bermain bulu tangkis dengan bocah SD yang baru belajr bermain? Jika pernah, coba ingat kembali apa yang terjadi? Tentu saja permainan diakhiri dengan kekalahan si bocah SD tadi, betul apa betuuul? Karena terus menerus menang dengan mudah, tentu saja kamu akan cepat bosan dan berhenti bermain.

Sekarang coba ganti lawannya dengan sang legenda bulu tangkis Taufik Hidayat di kondisi prima dan beliau bermain dengan serius. Apa yang terjadi? Tentu saja kamu pasti akan kalah telak di setiap match-nya, lalu kamu akan cepat bosan juga dan berhenti bermain.

Photo by Stephan Rothe on Unsplash

Terakhir, coba kamu ganti lagi lawan nya dengan teman kerja atau teman sekolah yang secara skillnya tidak jauh berbeda denganmu. setiap kali kamu memenangkan pertandingan pasti akan muncul bayangan-bayangan seperti — “Tadi hampir saja saya kalah, kalau pukulan terakhir tadi gagal saya pasti kalah”. Atau ketika kalah ada bayangan seperti — “Harus nya tadi saya masih bisa menang, tapi pukulan saya yang terakhir kurang maksimal”. Itulah goldilock, kondisi dimana “sesuatu” yang sedang kamu lakukan itu tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.

Bisa jadi ketika kamu menganggap Frontend itu susah, itu hanya karena salahnya strategi ketika mulai terjun untuk belajar, ketika kamu terlalu sering mengulang-ulang materi yang mudah, tentu saja akan cepat bosan, cobalah cari materi yang sedikit lebih menantang, yang sedikit menggores isi kepalamu untuk men-trigger otak berfikir lebih keras. Dan ketika kamu mulai kesulitan memahami materi tertentu yang terlalu berat, cobalah shifting ke materi yang sedikit lebih mudah. Ketika kondisi Goldilock ini telah tercapai, percayalah! kamu akan kaget dengan betapa menyenangkan nya bisa mempelajari hal baru.

Roadmap

Apakah hanya dengan mencari kondisi Goldilock ketika belajar sudah cukup agar bisa menjadi seorang Frontend handal? — Tentu tidak!

Saya pribadi tidak menjadi seorang Senior Frontend Web Developer secara instant. Role pertama yang saya cicip adalah Backend semi Fullstack, yang mana untuk sisi Frontend nya saya selalu menggunakan template gratisan yang saya edit-edit sesuai kebutuhan. 2 tahun 9 bulan berlalu sebelum akhirnya saya mendapatkan pekerjaan full time pertama saya sebagai Backend Developer. Baru 4 bulan setelah nya, karena satu dan lain hal saya shifting menjadi seorang Frontend.

Orang gila macam apa yang bahkan setiap kali berurusan dengan CSS dan JavaScript selalu dilemparkan ke orang lain lalu tiba-tiba ngide bersedia shifting menjadi seorang Frontend — Yup!! Itulah saya. Butuh waktu 1 tahun penuh sampai akhirnya saya bisa menggunakan css dengan cukup baik. Terlihat aneh memang, ada seorang Frontend yang bahkan tidak bisa menggunakan css sama sekali, semua urusan css/styling di semua project yang saya handle pada tahun pertama, selalu dikerjakan oleh orang lain.

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Hanya karena satu kesalahan kecil, saya harus menghabiskan 1 tahun penuh bahkan lebih untuk bisa menjadi seorang Frontend Web Developer yang sesungguhnya. Biang keroknya tidak lain dan tidak bukan adalah “roadmap”. Saya mulai terjun ke dunia Frontend tanpa roadmap yang jelas, hanya berbekalkan lebih dari 400 video udemy yang saya telan mentah-mentah. Waktu yang saya habiskan untuk mempelajari dunia Frontend jauh dari kata normal, kebingungan dengan apa yang harus di pelajari lebih dulu dan apa yang harus dipelajari selanjutnya.

Artikel ini saya tulis dengan sebuah harapan kecil, semoga siapapun yang memutuskan ingin terjun ke dunia Frontend tidak mengulang kesalahan yang sama seperti yang saya lakukan. Saya merekomendasikan sebuah website yang saya rasa ini akan sangat membantu.

Roadmap.sh yang dibuat oleh Kamran Ahmed ini memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai apa saja yang perlu dipelajari dan dari mana harus mulai belajar, mana yang peting, mana yang nice to have.

Terakhir dari saya, jika kamu benar-benar ingin menjadi seorang Frontend yang handal, teruslah merasa haus dengan hal baru, jangan pernah puas dengan apa yang sudah dipahami, dan berhentilah belajar ketika kamu benar-benar berhenti bernafas.

Share jika bermanfaat!
Happy Conding ^^

--

--

No responses yet